Senin, 21 Januari 2008

JENDER DALAM PERSPEKTIF ISLAM

KONSEP KESETARAAN JENDER DALAM ISLAM

Al-Quran yang diturunkan Allah melalui Nabi Muhammad, mengharapkan agar seluruh manusia terutama umat manusia terutama kaum pria dimuka bumi ini agar memperlakukan kaum wanita lebih baik dan terhormat sesuai dengan prinsip ajaran kesetaraan pria wanita sebagai makhluk ciptaan tuhan yang mulia. Banyak ayat maupun hadits yang menjelaskan hal ini, antara lain:

“ Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari jenis laki-laki dan perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi maha mengenal.” (QS al-Hujarat 13).

Ayat diatas menjelaskan kedudukan pria dan wanita adalah sederajat. Adanya perbedaan antara pria dan wanita di bidang hukum karena jenis laki-laki itu lebih mulia menurut Allah dan lebih dekat dengan-Nya dari pada jenis wanita.

Kemuliaan seseorang di hadapan tuhan-Nya bukan didasarkan pada jenis kelamin atau etnisnya, melainkan berdasarkan prestasi ibadah muamalah yang dilakukannya. Dalam bahasa agama, disebut sebagai orang-orang yang paling taqwa. Perbedaan tersebut hanya bersifat fungsional saja, sesuai dengan kodratnya masing-masing.

Demikian ayat lainnya yang nenjelaskan kesetaraan antara pria dan wanita, yaitu:

“ Siapa saja yang mengerjakan kebaikan, baik pria maupun wanita dalam keadaan beriman, maka akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan kami beri pula balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” ( QS An-Nahl 97 ).

Ayat-ayat diatas menjelaskan pandangan yang positif terhadap kedudukan dan keberadaan wanita yang memilki kedudukan setara ( egaliter ) serta hak dan kewajiban yang sama dengan pria dalam hal berbuat baik dan mendapatkan imbalan baik dan mendapatkan imbalan kebaikan kebaikan dari Allah SWT.

Ayat diatas juga menjelaskan bahwa tidak ada diskriminasi antara pria dan wanita. Dan tidak ada paham the second sex seperti dalam tradisi Barat Kristen atau Yahudi. Juga tidak pengakuan terhadap keistimewaan suku tertentu. Semua suku bangsa dan jenis kelamin mempunyai status dan kedudukan yang sama dalam strata sosial.

Sosok ideal wanita muslim digambarkan sebagai kaum yang memilki kemandirian dalam menentukan pilihan yang benar, sekalipun harus berhadapan dengan suami, seperti ditegaskan Allah dalam firmannya-Nya:

“ Dan Allah membuat istri Fir’aun perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, ketika ia berkata, Ya Tuhanku bangunkan untukku sebuah rumah di sisimu dalam surga dan selamatkanlah aku dari Fir’aun dan perbuatannya dan selamatkanlah aku dari kaum yang zalim.” ( QS al-Tahrim 11 ).

Gambaran yang menempatkan wanita sangat mulia di dalam al-Quran, tidak terdapat dalam kitab-kitab suci sebelumnya. Karena adanya peluang wanita untuk mengembangkan diri, sama dengan kaum pria, maka pada zaman keemasan Islam, banyak ditemukan wanita-wanita yang memilki kecerdasan dan kelebihan yang setara, bahkan melebihi kaum pria.

Wanita dari komunitas agama lain, seharusnya berterima kasih kepada umat islam karena secara teologis, islam telah membawa ajaran yang memuliakan harkat dan martabat kaum wanita, sehingga kaum wanita bisa bangkit untuk memajukan dirinya setara dengan kemajuan yang telah dicapai oleh kaum pria. Adanya perebedaan antara pria dan wanita didalam bidang hukum bukan karena jenis laki-laki itu lebih mulia dari pada jenis wanita. Karena kemuliaan seseorang dihadapan Tuhannya lebih didasarkan kepada prestasi ibadah dan mu’amalah sesuai dengan kodrat masing-masing.

Dalam masalah persaksian, wanita dibolehkan menjadi saksi sama seperti pria, namun kesaksian itu masih dua berbanding satu, yaitu kesaksian dua orang wanita sama dengan kesaksian seorang pria, seperti dijelaskan Allah dalam firmanNya:


“Dan persaksikanlah dua orang saksi dari orang laki-laki diantara kamu, jika tidak ada dua orang laki-laki, maka (boleh) seorang laki-laki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhoi, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya, janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil” (Al-Baqarah: 282).


Paradigma liberal (baca: barat) terhadap sosok perempuan cukup menyedihkan. Orang Yunani memandang perempuan sebagai penyebab lahirnya perbuatan setan. Bahkan dianggap sebagai barang komoditi yang bisa diperjualbelikan. Selaras dengan itu, menurut Socrates (Filsuf Yunani kuno kebanggaan peradaban barat) didalam Plato's Republic yang dikutip oleh Allan Bloom dalam bukunya The Closing American Mind menyatakan, peran perempuan sebagai Ibu dan identitas keluarga haruslah dikorbankan agar tercapai kesetaraan dan keadilan gender antara pria dan wanita.

Ironisnya, paradigma keliru yang membahayakan kaum perempuan ini justru masih diadopsi oleh para pejuang hak-hak perempuan khususnya dari kalangan feminis. Karena itu, proses pengikisan paradigma liberal tentang pendidikan dan perempuan sepatutnya terus digiatkan. Selanjutnya benak pemikiran perempuan dan umat manusia perlu dibenahi dengan paradigma yang bersumberkan dari nilai-nilai luhur syariah. Di dalam konsepsi syariah telah termaktub bahwa prosesi pendidikan bertujuan utama untuk membentuk kepribadian yang khas (syakhsiyah mutamayyiz). Kepribadian yang khas ini merupakan sinergi yang solid antara pola pikir dan pola sikap yang bersumberkan dari konsepsi dasar yang sama.

Prosesi pembentukan karakter atau kepribadian yang khas ini tentu saja dilandasi oleh sinergi ketiga kecerdasan (IQ, EQ & SQ) juga disinergikan dengan kecerdasan ideologis (Mabda Quotient). Disisi lain proses sinergi keempat kecerdasan ini dibutuhkan dukungan yang kuat dari lingkungan keluarga. Peran keluarga ini akan berhasil dengan optimal jika paradigma tentang perempuan direposisi selaras dengan kodrat dan fitrah manusia. Perempuan secara kodrati adalah sosok yang diberikan anugerah Sang Khalik untuk melahirkan generasi insani. Status sebagai ibu merupakan kehormatan sekaligus amanah yang selayaknya untuk diutamakan. Pengabaian terhadap peran penting ibu sebagai pendidik pertama dan utama akan berdampak pada kegagalan proses pendidikan untuk mencetak generasi yang cerdas dan bertakwa.
Namun, reposisi peran perempuan sebagai sosok ibu dan pengatur rumah tangga di ranah domestik bukan bermaksud untuk menihilkan peran perempuan di ranah publik. Perempuan atau kaum ibu tetap saja berkesempatan luas untuk berkontribusi dalam kancah kehidupan publik, hanya saja kontribusi ini tidak boleh mengabaikan peran strategisnya sebagai pendidik pertama dan utama dilingkungan keluarga. Sinergi paradigma pendidikan yang bebas aroma materialistik dan liberalistik serta didukung dengan reposisi peran perempuan dengan kedudukan yang terhormat sebagai 'guru besar' di ranah domestik merupakan manifestasi atau penampakan cinta yang tulus kepada generasi.

Kecintaan terhadap masa depan generasi bangsa ini sepantasnya diakumulasi dalam bentuk gerakan moral dan dakwah yang berkesinambungan. Tentu saja bangsa ini akan kehilangan sosok pemimpin yang ideal dan tetap akan berkutat dalam krisis multidimensi jika generasi penerusnya mengabaikan edukasi yang berorientasi pada pembentukan kepribadian dan melupakan pendidikan yang dikemudikan oleh kaum ibu yang bernuansa cinta. Walhasil, diperlukan evaluasi secara berjamaah, apakah kita sudah mendidik generasi anak negeri ini dengan cinta atau justru berorientasi harta dan tahta?

Referensi:

· Indra, Hasbi, Potret wanita shalehah, pena madani Jakarta, 2005

· www. Waspada ONLINE.

1 komentar:

Dessy Eka Pratiwi mengatakan...

Gender banyak di bicarakan oleh masyarakat, tetapi sebagai kaum wanita kita jangan hanya memikirkan gender tanpa memperhatikan perkembangan Karir di luar rumah yang berimbang.